Fenomena sharing Ekonomi

Taxi GrabKarena sharing, maka jadi murah. Selamat datang anak2 muda pembaharu. Mereka beda dengan orang2 tua yang dibesarkan dalam peradaban “memiliki.” Orang2 tua tahunya berbisnis itu harus beli dan menguasai. Jadi semua mahal. Mobil harus beli, tanah, gedung, pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas.

Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka lapak di sana dan berbagi hasil.

Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan atau pol taksi.

Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala harga. Kalau ini mewabah, gila. Indonesia bakal dilanda deflasi, bukan inflasi. Tapi kini mereka dituduh menerapkan strategi harga predator yang bisa diperkarakan ke KPPU. Ongkos taksi yang harusnya Rp 150.000, cuma dihargai Rp 70.000.

Kamar penginapan yang permalamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp 200.000. Apa betul ini persaingan tak wajar? Belum lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari. Milenials bukan saja pribumi di dunia digital, melainkan juga sharing economy. Kriminalisasi atau Legalisasi

Tapi gini ya, ini bukan prostitusi online yang bekerja sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata kita. Bahkan kita sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering menyamakan mereka dengan bisnis ilegal.

Persepsi ini diperburuk oleh ketidak-mengertian kita tentang sharing economy yang gejalanya sudah marak dimana-mana. Kita bilang mereka menerapkan strategi “predatory pricing“. Kita juga bilang, aspek keamanan mereka tak terjamin.

Kedua isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang lalu. Makanya mereka mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang reputasinya buruk dariconsumer experience,  mereka  drop  dari komunitas berbagi itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di dunia maya.

Maka, bagi para orang tua, cara kerja anak2 muda ini sulit dipahami. Sebagian pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar usaha mereka dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, dibubarkan, diblokir, dan diusir dari RI.

Namun susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak mengenal batas-batas negara. Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar negeri. Di luar negri, kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan berkali-kali, tetapi mereka kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan dimodali Silicon Valley.

Saya memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin melawan proses alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi. Sejak dulu, para ahli mengingatkan, teknologi baru menuntut manusia2 berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New Technology X Old Mindset hasilnya: Fail! Gagal!

 

Jadi teknologi baru butuh mindsetbaru. Itu baru menjadi kesejahteraan. Jadi, para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti tukang-tukang ojek pangkalan yang kini sudah berjaket hijau atau biru.

Sebagian customer nyaman pakai taksi langganannya. Tapi pasarnya tinggal sedikit. Tak sebesar dulu. Sebagian lagi, harus disiapkan dengan platform baru: sharing economy. Dan ingat, sebentar lagi pemilik2 hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya menuntut  airbnb.com,  couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.
Harta-harta Yang Menganggur
Problem yang muncul dari peradaban owning economy adalah sampah menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin kotor dan gap kaya-miskin begitu besar.

Semua ini disebabkan tragedi kapitalisme yang menghargai penumpukan modal, hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” secara adil dengan efek penguasaan aset strategis. Padahal dulu, orang2 tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah ulayat yang tak berpagar.

Suasananya berubah, begitu tanah2 itu dikuasai orang lain yang mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan sekadar numpang lewat saja. Peradaban owning economy  membuat individu2 tertentu cepat mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka waktu yang lama tak digunakan.

Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50% tanah2 itu menganggur. Termasuk lahan2 pertanian yang kelak akan dialih-fungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak produktif.

Pabrik2, perkebunan, vila mewah, mobil2 keren, semua dikuasai, tapi belum tentu dipakai sebulan 1x oleh pemiliknya. Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only. Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan.

 

Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy.

Mereka bilang, “buat apa beli yang baru, kalau barang2 lama saja bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang2 bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil yang sudah langka kini bisa ditemui.

Lalu mereka juga bilang, ”buat apa beli sepeda motor baru, kalau yang ada di masyarakat bisa dijajakan oleh pemilik- pemiliknya.“ Itu menjadi Gojek dan Uber.

Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar yang kosong ditawarkan melalui . Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa plus sebagai guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman.

Di Prancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke. Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.

Ketika Sharing Economy menjadi gejala ekonomi yang marak, maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga2 akan turun, ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan menginap yang murah, aset2 milik masyarakat yang mengganggur jadi produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga.

Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan business model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.

Kini negara punya 2 pilihan. Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini jadi ilegal economy dengan operator pengendali dari luar Indonesia. Kedua, melegalkan sharing Economy dan mendorong pelaku2 lama menyesuaikan diri. Silahkan direnungkan!

(@Rhenald_Kasali; Prof. Rhenald Kasali adalah akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di FE UI. Sejumlah buku telah ditulis antara lain 9 Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007). (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/22/054000126/Demo.Sopir.Taksi.dan.Fenomena.Sharing.Economy.?page=all)-FatchurR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Langganan Artikel Gratis
Dengan mendaftarkan alamat email dibawah ini, berarti anda akan selalu dapat kiriman artikel terbaru dari Alumnimaterdei

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Anda pengunjung ke
UD. Setiadarma
Best PRICE, Best QUALITY & Best for YOU! Setiadarma

UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447

Percetakan Offset Sidoyoso
Jl. Kedung Cowek 205 Surabaya (0351) 3770001-3718318 Fax. 3763186
Bosch
Bosch Jl. kedungsari 117-119 Surabaya Telp. (62-31) 5312215-5353183-4 Fax. (62-31) 5312636 email: roda_mas888@yahoo.com
Download Buletin Media Alumni Edisi 2
Buletin-MA-utk.-Widget Buletin Media Alumni bag. 1, kilk disini Buletin Media Alumni bag. 2, klik disini buletin Media Alumni bag. 3, klik disini
Alamo
alamo
Download Buletin
buletin-IAMDP 8 Download Buletin klik pada Gambar
Sahabat kita