Uang Bukan Modal Utama Pendidikan

“Jika uang menjadi modal utama untuk bersekolah, maka pendidikan itu sendiri telah menghianati rohnya.” – Andri Rizki Putra

 

Terus terang, perasaan saya tergelitik tatkala membaca ungkapan sahabat saya yang berkomentar mengenai keberhasilan salah seorang kawan saya yang lain tentang tim binaannya yang berhasil memenangkan sebuah perlombaan. Sebut saja itu lomba musikalisasi puisi. Sahabat saya tersebut berkomentar di status kawan saya, “Berarti tarif gurunya abis ini mahal.” Yang entah karena apa, saya komentari dengan, “Ga boleh mahal, Kakak, karena menghianati eksistensi dasar pendidikan.”

 

 

Ya, maksud saya ketika berkata demikian adalah berkaca pada pengalaman Rizki, nama panggilan Andri Rizki Putra, penulis buku Orang Jujur Tidak Sekolah, yang mendapatkan banyak diskriminasi di sekolahnya karena dia termasuk anak orang yang tidak mampu.

 

Belum lama berselang, sahabat saya itu pun menanggapinya kembali. “Yang barusan bilang rasional siapa ya? Kudu rasional gitu.

 

Saya paham, apa yang diresponnya bermula pada pembicaraan kami beberapa hari yang lalu, mengenai komunitas yang sama-sama kami dirikan. Bahwasannya, di dalam debat tersebut, saya sempat berpendapat kalau sekarang kami –saya dan sahabat saya itu, sudah seperti sebuah lokomotif yang membawa banyak gerbong dan juga penumpang di belakang. Apa yang kami jalankan, sudah tidak boleh lagi mengacu pada pemikiran, kepentingan ataupun idealisme pribadi kami semata. Ada banyak kepala dan kepentingan yang harus juga kami pikirkan yang menjadi tanggung jawab kami. “Seharusnya komunitas (kebetulan memang komunitas kami bergerak di bidang seni dan pendidikan) bisa membuka ruang ekonomi bagi para anggotanya,” ungkap saya saat itu. Karena, bagi saya pribadi, ada sebuah kebutuhan, di luar kebutuhan-kebutuhan idealis tadi, yang harusnya bisa juga mereka penuhi ketika mereka berkomunitas.

 

Umpama lokomotif, masing-masing penumpang tersebut pasti memiliki kepentingan, tujuan bahkan tempat pemberhentian yang berbeda-beda. Itu tak masalah, Namun, satu hal yang harus kami pastikan, mereka harus melalui jalur (baca: tetap berada di rel) yang benar, mengikuti aturan dan tidak boleh semena-mena dengan egoismenya sendiri ketika mereka memutuskan untuk bergabung bersama kami. Bersama-sama mencapai tujuan dengan gerbong dan rel yang kami bangun.

 

 

Tarik menarik dua kutub kepentingan

 

Apakah saya telah menciderai sebuah idealisme pendidikan? Sebab pasal 31 UUD 1945 menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran?

 

Jadi, harus gratiskah pendidikan tersebut? Apakah gurunya berarti tidak boleh dibayar? Apakah gurunya tidak boleh berkehidupan layak? Mengingat, hal tersebut tentunya kontradiktif dengan apa yang dikatakan oleh Mendikbud Anies Baswedan pada peringatan Hari Guru Nasional, 25 November lalu: “VIP-kan guru.” Yang kebetulan, saya sangat bersepakat dengan pemahaman dan pemikiran Bapak Menteri tersebut.

 

Jawaban pertanyaan ini seperti kita sedang diperhadapkan pada sebuah pertanyaan filosofis: “Lebih dahulu mana, antara telur atau ayam?” Ketika kita jawab “Ayam”, pasti sang penanya akan membingungkan kita dengan alasan, “Lha ayam tuh asalnya dari mana?” Pun begitu sebaliknya jika kita menjawabnya, “Telur.”

 

Ya, pada sebuah titik semua pasti berasal dari ketiadaan. Namun, hal tersebut tidak bisa disamakan artinya dengan “Semua berasal dari ketiadaan.”

Di atas, saya berkata bahwasannya uang bukan modal utama pendidikan. Ini bukan berarti, bahwa dalam memperoleh pendidikan, kita tidak memerlukan uang, kan? Jer Basuki Mowo Bea. Masyarakat Jawa Timur pasti paham artinya. Bahwa, untuk mendapatkan sebuah kesuksesan (basuki) selalu dibutuhkan biaya (bea), alias tidak gratis. Tidak ada suatu hal di dunia ini yang diberikan secara cuma-cuma. Kita harus membayarnya. Tentu arti kata “membayar” ini tidak bisa kita artikan secara sempit, membayar dengan uang.

 

Kita bisa membayarnya dengan kerja keras.

 

 

Tak lagi “Aku”, melainkan “Kita”

 

Kembali lagi ke soal komunitas dan idealismenya, bagi saya, ada dua hal yang dapat diambil sebagai simpulan dalam tulisan ini, dalam perbincangan saya dan sahabat saya. Pertama, sesosial-sosialnya sebuah wadah atau komunitas dibentuk, ia tentu memerlukan ruang ekonomi (baca: uang) sebagai faktor penggeraknya. Sekali lagi, bukan sebagai core atau faktor utama komunitas tersebut, tetapi penting dan perlu dipikirkan keberadaannya bagi kesejahteraan anggota.

 

Kedua, di dalam berkomunitas, kita tidak lagi dapat berkata “Aku” -ini aku, ini maksudku, ini programku, ini mimpiku atau ini cita-citaku; melainkan “Kita”. Ini cita-cita kita bersama. Sebab, bagi saya, sebuah komunitas yang baik, sebuah program yang baik, sistem yang baik; dia akan terus berjalan meski pendirinya sudah tidak lagi duduk di kursi masinis di dalam gerbong tersebut. Seorang pemimpin, seorang masinis yang baik, pasti akan memikirkan regenerasinya. Memikirkan bagaimana gerbong tersebut dapat tetap terus melaju sepeninggal dirinya. Baginya, gerbong (baca: program) itu bukan hanya untuk ada di saat ini dan sekarang, tetapi juga untuk masa depan.

 

 

Probolinggo, 1 Desember 2014.

 

*) Stebby Julionatan, penulis adalah pendiri Komunitas Menulis (Komunlis) dan pemerhati masalah pendidikan. Ia bisa disapa melalui akun FB-nya: Stebby Julionatan, twitter: @sjulionatan atau surel: sjulionatan@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Langganan Artikel Gratis
Dengan mendaftarkan alamat email dibawah ini, berarti anda akan selalu dapat kiriman artikel terbaru dari Alumnimaterdei

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Anda pengunjung ke
UD. Setiadarma
Best PRICE, Best QUALITY & Best for YOU! Setiadarma

UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447

Percetakan Offset Sidoyoso
Jl. Kedung Cowek 205 Surabaya (0351) 3770001-3718318 Fax. 3763186
Bosch
Bosch Jl. kedungsari 117-119 Surabaya Telp. (62-31) 5312215-5353183-4 Fax. (62-31) 5312636 email: roda_mas888@yahoo.com
Download Buletin Media Alumni Edisi 2
Buletin-MA-utk.-Widget Buletin Media Alumni bag. 1, kilk disini Buletin Media Alumni bag. 2, klik disini buletin Media Alumni bag. 3, klik disini
Alamo
alamo
Download Buletin
buletin-IAMDP 8 Download Buletin klik pada Gambar
Sahabat kita