Maafkan aku sobat
Seorang anak lelaki wataknya buruk. Dia suka dia bersitegang dan berkelahi dengan teman-teman segenerasinya. Kemudian oleh ayahnya, dia diberi sekantung penuh paku. “Nak, tanamkan sebatang paku setiap kali engkau kehilangan kesabaran. Tanamkan ini di tiang pagar itu,” pesan si ayah.
Di hari pertama, anak tadi memaku 37 batang di pagar. Di waktu Magrib, dia kaget. “Sebanyak itukah aku marah dalam sehari?” benaknya keheranan hampir tak percaya.
Saban hari berikutnya, dia belajar menahan diri sehingga jumlah paku yang dia tancapkan berkurang hari demi hari.
Lama2 dia memahami bahwa sabar dan menahan diri itu justru lebih mudah daripada menancapkan sebatang paku di pagar. Akhirnya tibalah hari dimana dia tak memaku sebatang paku pun. Dengan bangga dia berkata, “Ayah, hari ini tidak satu pun paku yang aku pakai.”
Sang ayah lalu menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap kali dia berhasil menahan diri / bersabar. Hari-hari berlalu hingga akhirnya semua paku yang tertancap di pagar itu tercerabut bersih. Kemudian, “Ayah, tidak ada lagi paku yang akan kucabut dari pagar itu,” lontar si anak bangga.
Ayahnya tersenyum kecil. Dia mengajak si anak ke pagar itu dan berkata, “Anakku, kamu sudah berlaku baik. Tapi tengoklah, lihatlah betapa banyak lubang yang ada di pagar ini”
“Anakku, pagar ini tidak akan kembali semula. Tiap kali kau bertengkar, apalagi sampai menghinakan orang lain, setiap itu pula engkau meninggalkan luka di hatinya, bagai lubang di pagar ini. Ya… ibarat kau menghujamkan pisau di dada orang… dicabut pun pisau itu, tetap saja ada luka yang ditinggalkannya”
Ayah melanjutkan pelan, “Anakku… tak peduli berapa kali kau minta maaf dan menyesali perbuatanmu menyakiti orang lain, engkau tetap meninggalkan luka di hatinya. Luka di hati lebih perih dari luka di badan, anakku. Maka jangan engkau menambah jumlah orang yang engkau lukai.”
Kisah di atas saya sadur dari sebuah cerita yang dikirim seorang kawan lewat email. Kisah yang memukul ego (keakuan) berlebih dalam diri. Yah… begitulah, sebab persahabatan itu ibarat kesehatan, kita akan merasakan betapa penting kehadirannya ketika kita sedang kehilangannya.
Mari kita membangun persahabatan saling membimbing, saling merangkul, saling mengingatkan, saling menghargai. Persahabatan saling berdampingan, tidak ada yang di depan, tidak ada yang di belakang.
Sahabat yang tidak saja dengar yang diucapkan, tapi sahabat yang mendengar yang tidak terkatakan.
Jadilah, Anda, sahabat saya yang mendengar lantunan lagu di hati saya dan menyanyikannya kembali ketika saya lupa akan irama dan syairnya. Semoga Allah senantiasa menaungi kita dengan rahmat dan hidayahNya dalam menjalani kehidupan keseharian. (Sapuwan Ksg; dari grup WA-78)-FR