Bersama tukang tambal ban

tukang tambal banPagi2 buta, dengan berkendara sepeda motor, saya antar istri ikut pelatihan Guru. Baru setengah perjalanan, motor mudah oleng ke kanan dan ke kiri. Ketika diperiksa, ban depan gembos. Saya merutuk kecewa. Padahal, saya harus membagi waktu ke kantor supaya tidak terlambat.

 

Ini malah bocor, terpaksa istri naik bus kota. Saya cari tukang tambal ban. Sejauh berjalan ngos2an, tak tampak ada tukang tambal ban. Saya memaki habis2an.

Untung di dekat pasar ada, motor saya tepikan. “Maaf pak. Belum operasi. Mungkin nanti siang atau sore. Saya belum tidur,” kata tukang tambal.  Alamaak, tapi dia tunjukkan lokasi2 tambal ban. Saya merutuk lagi. Jauh nian semua data yang diberikan dan saya belum sarapan.

Dua lokasi tambal ban cuma terlihat tulisannya saja. Alias belum muncul tukangnya. Saya lirik jam, hampir jam 08. Baru tukang tambal ketiga, saya bernapas lega. Tanpa bicara banyak, si tukang kerja  Cepat dan ringkas sekali, batin saya.

“Sampean duduk saja mas” katanya, sembari menunjuk kayu persegi panjang. Belum sempat duduk, saya sakit di perut. Saya tidak bisa berpikir, penyebab sakitnya perut. Saya amati sekitar, tak ada tanda2 toilet. Pinggir jalan semuanya rumah besar yang tak mungkin saya tumpangi ke toilet.

“Pak, saya sakit perut, di mana ya pak, ada toilet?” pak tukang tambal ban berpikir sebentar. Ia lihat ke depan. Saya baru paham maksudnya di seberang jalan, ada sungai besar Kali Mas. Sungai itu dibentang jalan dengan jembatan melegkung. Tapi, mana mungkin buang hajat di sungai itu? Bisa keliatan semua pengendara, memalukan tokh?
“Masak di sungai pak? Gak ada tempat lain?”
“Bukan di sungainya mas, di bawah jembatan.”
“Bawah jembatan?”
“Coba nanti sampean sebrangi jalan. Turun di sisi jembatan. Tepat di bawah jembatan  ada pembatas. Sampean beolnya di bawah jembatan itu. Di situ juga tempat saya tidur..”
Saya melongo. Tempat tidur?
“Mari saya antar” tukas pak Tamban Ban. Kami menyeberang, tiba di pinggir sungai, tepi pagar sungai memiliki jalan kecil ukuran 50 Cm. Kami melompat ke jalan kecil. Pak Tambal Ban menunjuk ke bawah Jembatan. Di sana, terlihat pagar bambu yang menutupi batas antara luar dan dalam jembatan.

“Sampean buka pintunya. Masuklah, di sana ada tempat tidur saya. Ada tangga turun ke sungai juga. Hati2 mas”. Saya segera bergerak, pak Tambal Ban naik kembali ke atas jalan raya.

Saat pintu dibuka, di tengah jembatan, terlihat bangunan kecil dipagar kayu dan kardus. Itulah rumah pak Tambal Ban. Saya mengelus dada, kok bisa betah tidur di tempat ini. Apa ia gak khawatir, tiba2 sungai meluap?

Saya dekati rumah teramat sangat2 paling sederhana (RTSSPS) itu. Sebab isi perut tak bisa ditahan. Langkah saya terhenti, tiba2 ada yang bergerak di rumah mungil. Sesuatu itu seperti bangun, kepalanya terlihat jelas. Wajah saya pucat saat tahu yang bergerak itu. Saya bersiap kuatir membahayakan. Apalagi, saat kepalanya menoleh, dan lidahnya men-julur2 mengerikan.
Guk, guk, guk!; Anjing!
Sialan, sembari ambil langkah seribu. Binatang paling saya takuti itu terus menyalak keras. Membuat jantung serasa mau copot, berlari melompati pagar. Baru berhenti pas di awal turun sungai. Menata napas yang kencang.
“Loh, kok cepat mas?” tanya pak Tambal Ban. Saya tersenyum simpul. Gara2 dicekam takut, keinginan  buang besar jadi hilang. Saya duduk di kayu persegi panjang. “Iya. Terima kasih pak. Gak tau saya jadinya jika tak dikasih tahu tadi” jelas saya pura2. Tetapi untung juga, salakan itu Anjing bisa redakan isi perut. Pak Tambal Ban cuma senyum.

“Asli Surabaya pak?” tanya saya.
“Oh, tidak nak. Saya asli Nganjuk. Di Surabaya, saya nyari nafkah”. Saya terhenyak. Dari Nganjuk? Sampai sejauh itu cari nafkah? Apa mencukupi?
“Sehari dapat berapa pelanggan pak?” tanya saya, untuk mengetahui taksiran penghasilan.

“Nggak nentu Nak. Nggak kayak zaman dulu. Kadang sehari nggak dapat sama sekali. Kadang bisa dapat 3 -4 objekan. Kalau dapat banyak, tapi kan tenaga juga terbatas bila sekaligus.”
Saya manggut2, pembicaraan kami berlangsung, sembari pak Tambal Ban menuntaskannya. Untuk urusan pulang kampung, pak Tambal Ban pulkam tiap bulan. Uang sebulan hasil nambal ia tabung sehingga cukup buat hidup di Surabaya, biaya pulkam dan tambahan nafkah istri dan anak2nya.

“Kenapa nggak nyari kerja di Nganjuk pak?”
“Pekerjaan ini sejak 80-an nak. Mau kerja di kampung, saya kerja apa? Sawah nggak punya. Yang penting Tuhan memberi saya pekerjaan untuk nyukupi anak-istri”. Saya terharu, gak kebayang, cara bapak ini  mengatur biaya hidupnya dari bawah jembatan, mungkin bagian dari caranya menghemat pengeluaran.
“Sudah nak. Silahkan dicek” katanya. Saya cek kondisi ban. Setelah yakin ban aman, saya memberinya uang nominal duapuluh ribuan.
“Waduh nakk. Ini kan masih pagi, gak ada kembalian, uang pas saja” saya memeriksa dompet, saku dan tas. Kosong melompong. “Sampean bawa saja dulu. Kalo dapat pecahan, ke sini lagi aja,” katanya mengusulkan. Baik banget sih, batin saya. “Tak usah kembalian pak. Buat sampean semua”
“Loh, Semua sebanyak ini?
Sudah pak, nggak apa2 kok. Rezeki itu ditentukan YME. Sampean bawa saja.
Itu kebanyakan kalo saya ambil semua. Kasihan sampean itu..”
“Santai aja pak, Ambil saja” tegas saya.
“Sebanyak ini?” saya mengangguk. Ia menatap saya tak percaya. Ia rasa nominal uang itu terlalu besar untuk bayar nambal ban. Saya hidupkan gas motor, meninggalkannya yang masih termangu. Saya tak habis pikir. Kok ada orang macam pak Tambal Ban. Pekerja keras, mau hidup prihatin di bawah jembatan, dan menabung uang meski tak seberapa demi anak-istri.
Lebih2 terngiang raut wajah tak percayanya ketika terima 20.000an. Uang yang buat saya bisa habis 1-2 hari. Tapi buat pak Tambal Ban, bisa buat tambahan tabungan, buat pulkam dan oleh2 anaknya.
Saya merasa bersalah sama Tuhan. Mengeluh karena pekerjaan bergaji tak seberapa, belum cukup buat beli rumah sendiri, mengeluh belum punya HP BB, mengeluh makan di warung biasa, bukan di resto. Tapi pak Tambal Ban kini mengubah kehidupan saya. Kini saya merasa kaya raya. Apa sih kebutuhan saya yang tak terpenuhi dalam hidup ini?
Motor saya punya, kontrakan bagus bisa saya sewa, pekerjaan ada, rumah dengan keluarga saya miliki, HP ada, TV di ruang tamu, dan banyak yang lain. Banyaknya anugerah rezeki dari YME. (Sumber: Kompasiana.com dan Rusdian Hernanda; http://kisah224.blogspot.co.id/2016/03/kisah-ajaib-bersama-tukang-tambal-ban.html)-FatchurR

One Response to Bersama tukang tambal ban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Langganan Artikel Gratis
Dengan mendaftarkan alamat email dibawah ini, berarti anda akan selalu dapat kiriman artikel terbaru dari Alumnimaterdei

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Anda pengunjung ke
UD. Setiadarma
Best PRICE, Best QUALITY & Best for YOU! Setiadarma

UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447

Percetakan Offset Sidoyoso
Jl. Kedung Cowek 205 Surabaya (0351) 3770001-3718318 Fax. 3763186
Bosch
Bosch Jl. kedungsari 117-119 Surabaya Telp. (62-31) 5312215-5353183-4 Fax. (62-31) 5312636 email: roda_mas888@yahoo.com
Download Buletin Media Alumni Edisi 2
Buletin-MA-utk.-Widget Buletin Media Alumni bag. 1, kilk disini Buletin Media Alumni bag. 2, klik disini buletin Media Alumni bag. 3, klik disini
Alamo
alamo
Download Buletin
buletin-IAMDP 8 Download Buletin klik pada Gambar
Sahabat kita