Gudeg Yu Djum dsb
Gudeg adalah masakan khas Jogja, dibuat dari nangka muda, gula merah dan bumbu yang dimasak hingga ber-jam2. Karena kekhasannya itu, jika ke Jogja tanpa makan gudeg, belum afdol. Gudeg dimakan bersama nasi dan lauk pelengkapnya untuk menetralisir rasa manis dari gudeg.
Lauk yang selalu setia mendampingi gudeg adalah areh (santan kental) dan sambal krecek, tahu atau tempe, telur atau ayam tergantung selera. Gudeg dimakan bersama nasi dan lauk pelengkapnya untuk menetralisir rasa manis gudeg.
Di Jogja dikenal ada 2 jenis gudeg, yaitu
- Gudeg kering. Gudeg jenis ini disajikan dengan areh kental dan sambal krecek yang dimasak kering. Gudeg kering tahan beberapa hari. Biasanya dijadikan oleh2 khas Jogja. Gudeg semacam ini dijumpai di kedai terkenal seperti Gudeg Bu Tjitro, Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Lies, Gudeg Yu Narni dan Gudeg Bu Amad Barek.
- Gudeg basah. Jenis gudeg ini disajikan dengan areh encer dan sambal krecek basah. Tidak tahan lama, sehingga hanya bisa dinikmati di Jogja, kalau untuk oleh2 hanya yang perjalanan singkat. Gudeg basah mudah dijumpai pada pagi hari sebagai sarapan. Gudeg jenis basah yang terkenal adalah Gudeg Permata Bu Puji, Gudeg Pawon Janturan, Gudeg Sagan dan Gudeg 8055.
Jika Anda menginginkan gudeg yang bercita rasa asli Jogja dan Anda berada jauh dari Jogja, tak perlu khawatir. Kini Gudeg Bu Tjitro, Gudeg Bu Lies dan Gudeg Yu Djum tersedia kemasan kaleng yang dapat dinikmati untuk 2 porsi. Anda bisa mendapatkan dengan harga ekonomis. Jadi kerinduan gudeg bisa teratasi dengan praktis dan ekonomis. (Sumber : Gudeg dan https://arifyuni.wordpress.com/)-FatchurR
One Response to Gudeg Yu Djum dsb
Leave a Reply
UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447
Jl. Kedung Cowek 205 Surabaya
(0351) 3770001-3718318 Fax. 3763186
Jl. kedungsari 117-119 Surabaya
Telp. (62-31) 5312215-5353183-4
Fax. (62-31) 5312636
email: roda_mas888@yahoo.com
Buletin Media Alumni bag. 1, kilk disini
Buletin Media Alumni bag. 2, klik disini
buletin Media Alumni bag. 3, klik disini
Download Buletin klik pada Gambar
Saat menjadi aktivis sampai menjatuhkan Orde Baru saya memang selalu harus ke Jogya. Sekali coba kebetulan jadi suka. Jadi setiap hari, sekali makannya ya gugeg Yu DJUM yg dalam gang dikomplek UGM. Sisanya bias disantap kala siang.
Tidak betah pedas saya betah betahkan karena memang enak.
Lama kelamaan setelah kenal, saya memberanikan diri usul pada Yu DJUM agar bikin gudeg yg tidak pedas.
Nah ini catatan saya bedanya orang progressive dengan yang kurang pergaulan.
Yu DJUM langsung mengiyakan. Besoknya sudah ada variasi gudeg tidak pedas.
Pada teman yg kemudian jadi Guru Besar di UGM, yang menemani saya makan dan saat saya usul gudeg tidak pedas dia juga hadir, sayapun nyeletuk ini beda orang yang pergaulannya luas seperti Yu DJUM dan pelanggannya yang dari berbagai kalangan. Diusuli perubahan oleh pelanggan atas menunya yang turun temurun pedas, langsung direspon positip.
Beda dengan warung pecel yang terkenal sampai nganrti disuatu kota kecil. Semua tau pecel dimana mana pedas.
Saat saya mengusulkan agar ada pecelnya yang tidak pedas, pemilik langsung ngotot ga ada pecel yang tidak pedes Pak. Sampai saya minta dibuatkan 1 kilo bumbu pecel khusus tidak pedes, saya ditolak. Dengan paksaan halus baru dituruti. Jadi kalau kekota ini agak lama saya pesan satu kilo bumbu pecelnya yg tidak pedas. Ya untuk dimakan disana dengan lauk pauk dari dia.
Baru tahun 2001 dia menyajikan pecel yang tidak pedas. Ketika saya yanya apa yang beli ada selain saya? Ya banyak Pak, ternyata juga sama laku.
Demikian juga kalau kita makan pempek Plembang di Bangka atau Palembang, dulu susah cari yang kuahn ya tidak pakai cabe dan minta tidak digoreng. Pasti saya ditanya kok aneh aneh ga lazim? Maka terpaksa saya menjelaskan karena gorengan tidak baik untuk kesehatan, saya hindari. Soal pedesnya bukan alas an kesehatan, cabe adalah makanan sehat. Saya saja yang ga betah.
Itulah hasil pengamatan saya mengapa orang mudah melakukan inovasi dan yang conservative.
Karena itu banyak banyaklah bergaul dengan semua kalangan sehingga terbiasa mensesuaikan diri tidak selalu mengukur baju orang dibadan sendiri.