Potensi Natuna Yang Jadi Rebutan Dengan China
(cnnindonesia.com)-JAKARTA; Adanya polemik kapal kapal nelayan China ke perairan Natuna di Kep-Riau kembali jadi sorotan publik. Sebab, kapal itu tak sekadar masuk ke wilayah RI tapi juga menangkap ikan secara ilegal dengan perlindungan penjaga kapal (coast guard).
Data sistem pemantauan bertajuk Skylight yang diperoleh CNNIndonesia.com mencatat kapal asing yang masuk ke Natuna bisa seribu per hari. Berdasar sampel yang dilakukan 2019, jumlah kapal asing yang masuk 1.647 kapal per hari pada April, 810 kapal di Mei, 580 kapal di Juni, dan 768 kapal di Juli.
Bila merujuk ketentuan wilayah, aktivitas kapal asing di Natuna ini melanggar aturan. Sebab, Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) sudah menetapkan perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Indonesia melalui Kemenlu melempar nota protes ke China, salah satu negara yang kapal nelayannya masuk ke perairan Natuna. Namun, China mengklaim tidak melanggar hukum karena perairan Natuna itu bagian dari kawasan Laut China Selatan yang sah, meski ada Konvensi PBB.
Malaysia, tak berpikir panjang, mendaftarkan sengketa wilayah di Laut China Selatan ke PBB (Desember 2019). Sengketa di kawasan itu melibatkan China, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan RI. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengatakan Natuna jadi rebutan banyak negara
Berdasarkan data Kementerian KP, perairan Natuna berpotensi ikan pelagis 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi 23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton/tahun. Juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kunin, udang putih, dll. Dari sisi wilayah, kawasan ini paling strategis dari perbatasan beberapa negara yang bersengketa.
“Secara ekonomi Arafura yang terkaya di Indonesia, tapi China tidak ada akses ke sana, tidak punya pilihan, jadi memilih Natuna,” ucap Yugi ke CNNIndonesia.com, (6/1). Namun dia melihat potensi sumber daya laut ini tidak akan maksimal dirasakan RI bila sengketa terus terjadi. Akhirnya, masing-masing negara juga tidak bisa menikmati kekayaan alam Natuna, bila tidak kunjung ada kesepakatan.
Yang perlu dilakukan menyelesaikan hak perairan Natuna. Indonesia, bisa lebih dulu memanfaatkan jalur diplomasi untuk menyelesaikan sengketa kedua negara. “Jangan sampai nantinya seperti hubungan China dengan AS, sampai perang dagang, itu merugikan, maka lebih baik cara diplomasi,” ungkapnya.
Hubungan kedua negara seperti AS-China, kedua negara merugi. Sebab, keduanya mitra ekonomi mulai perdagangan hingga investasi. “Maka lebih baik melalui diplomasi, kerahkan orang Indonesia yang punya hubungan baik dengan petinggi di China, lalu libatkan arbitrase internasional sebagai penengah dan bisa diterima semua pihak, termasuk negara lain (yang ikut bersengketa),” katanya.
Pemerintah tidak cukup mengandalkan jalur diplomasi, namun turut menambah kehadiran nelayan Indonesia dan fasilitasnya di perairan Natuna. Ini bisa membantu penyelesaian konflik dengan jalur non militer.
Setidaknya, sambung Yugi, kehadiran nelayan Indonesia yang melakukan aktivitas perikanan di sana bisa mencerminkan pemanfaatan negara atas kepemilikannya. Kendati begitu, mengingat besarnya ombak di Natuna, maka para nelayan pun perlu bantuan tangan pemerintah, misalnya dalam pengadaan kapal dan fasilitas rantai pasok ikan tangkapan dari Natuna.
Tak pengaruhi hubungan ekonomi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus melihat polemik di Natuna tak berdampak besar bagi ekonomi dengan yang bersengketa, khususnya China.
Sebab, kedua negara cukup dewasa mengelola hubungan ekonomi, sehingga batas negara tidak akan rela mengorbankan kepentingan ekonomi. Indonesia tidak akan terlalu ‘ngotot’ dengan China karena ada kepentingan investasi.
Begitu pula China, sebab bagaimana pun Indonesia jadi negara prospektif untuk pasar tujuan ekspor barang asal Negeri Tirai Bambu. Jadi, China juga tidak akan memberi tekanan tinggi yang berujung pada penurunan potensi pasar mereka.
“Kedua negara tidak akan rela bila kegiatan ekonomi masing-masing jadi terpengaruh, sehingga potensi ketegangan lebih lanjut rasanya minim terjadi. Apalagi kalau dikhawatirkan jadi setegang AS-China, rasanya tidak karena keduanya saling membutuhkan,” ujar Heri.
Data BKPM, China berperan penting bagi Indonesia. Hal ini tercermin derasnya realisasi investasi dari negara yang dipimpin Xi Jinping ke Tanah Air. Pada 2019 misalnya, China masuk posisi tiga besar negara yang getol mengalirkan investasi. Tercatat, dana yang mengalir ke Indonesia US$3,31 miliar melalui 1.888 proyek.
Presiden Jokowi bahkan tengah gencar menawarkan berbagai proyek investasi di bidang infrastruktur kepada China. Salah satunya melalui kerja sama The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra Modern.
“Indonesia butuh investasi, jadi umpamanya kita tolak impor China, nanti ada efek retaliasi dan China tidak mau investasi ke sini. Ini tak akan dilakukan, apalagi kita butuh investasi dari sana ketika negara di barat lebih tidak bisa diandalkan pada kondisi ekonomi saat ini,” terangnya.
Di sisi lain, menurut Heri, China pun tidak akan terlalu keras mengingat Indonesia bisa menjadi pendongkrak penyerapan industri di tengah berkonflik dengan AS. Berdasar data BPS setidaknya impor produk China ke Indonesia 29,68% dari total impor nonmigas (November 2019). Realisasi impor China ke Indonesia US$4,19 miliar pada bulan yang sama atau meningkat 5,72% dari Oktober 2019.
Akumulasi nilai impor China ke Indonesia US$40,5 miliar pada Januari-November 2019. Jumlah ini menempatkan China sebagai negara dengan impor terbesar di Indonesia, diikuti Jepang, Thailand, dan Singapura.
“Indonesia negara penting, hampir 30% produk mereka diimpor ke sini. Kalau berkurang, tentu China tidak rela, hubungan jadi terganggu, pasar berkurang, apalagi sudah kehilangan pasar dari AS,” jelasnya. Kedua negara akan memilih menyelesaikan konflik melalui jalur diplomasi dibandingkan militer.
(sfr; yuli Anna Fauzie; Bahan dari : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200107080552-92-462985/mengintip-potensi-natuna-yang-jadi-rebutan-ri-china)-FatchurR *



Jl. kedungsari 117-119 Surabaya
Telp. (62-31) 5312215-5353183-4
Fax. (62-31) 5312636
Buletin Media Alumni bag. 1, 


Natuna disengketakan oleh 4 ngr Asia Tenggara juga China, pdhal Indonesia sdh mendapat referensi PBB atas Kedaulata Natuna.
Yg mengherankan justeru nelayan China dikawal coastģuard selagi mencari ikan diperairan Natuna, tidakkah ini merupakan tindakan provokasi yg tdk mengakui kedaulatan kita ?? Juga dasar klaim China berdasarkan sejarah jika Natuna pernah dimiliki oleh Kerajaannya dulu.
Berdasar kepentingan ekonomi bersama baik China maupun Indonesia sdh sepakat menyelesaikan secara diplomasi.