Penjual sate
“Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana.” — Anonim
INI kisah seorang teman. Satu hari karena begitu laparnya, ia mampir ke warung sate kambing di pasar Rawamangun menjelang sore di hari Minggu. Setelah selesai makan dan membayar, ia pun beranjak pergi.
Kira-kira satu bulan kemudian, sang teman kembali lagi ke tempat yang sama untuk buka puasa. Tapi ketika ia hendak membayar, sang penjual sate menyerahkan uang seribu rupiah. Katanya, itu uang kembalian yang kurang satu bulan lalu. Waktu itu katanya, anak penjual sate sudah berlari mengejar sang teman untuk menyerahkan uang kembalian. Rupanya dia sudah keburu pergi dengan mobilnya.
Sebenarnya agak kaget juga dia dengan kejadian tersebut. Akhirnya, sang teman mengucapkan terimakasih. Ia malah lupa kalau memang kurang kembaliannya saat itu dan mengatakan tidak masalah. Dari bicaranya, jelas bahwa sang penjual sate ingin mengatakan bahwa uang itu merupakan hak orang lain dan harus diserahkan kepada pemiliknya.
Sang teman tersentuh. Bukan soal nominal uangnya. Tapi kejujuran penjual sate tersebut yang membuat dirinya trenyuh. Kejujuran sang penjual sate patut diapresiasi. Memang begitulah seharusnya kita sebagai umat manusia, merasa malu bila memiliki barang yang bukan haknya.
Tapi, pada kenyataannya, hal ini jarang kita temui di negeri ini. Yang kita lihat malah sebaliknya. Kasus-kasus korupsi yang terjadi, hampir setiap hari menjadi berita di media massa. Mengapa negeri ini yang konon penduduknya dikenal ramah tamah, korupsinya justeru menempati peringkat atas?
Padahal hampir setiap pagi hari kita mendengar siraman rohani di TV. Rumah ibadah selalu ramai dikunjungi umatnya. Tempat peribadatan seakan hanya menonjolkan aspek ritualitasnya, tidak menyentuh masalah substansinya yaitu azas manfaat dan daya guna terhadap kemasalahatan orang banyak. Mereka tahu itu perbuatan salah. Mereka tahu itu dosa. Tapi korupsi tetap saja berlangsung.
Mereka tahu itu perbuatan salah. Tapi tahu saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah kesadaran diri. Bila seorang koruptor sadar bahwa tindakannya akan berdampak lebih jauh, yang tidak hanya merugikan negara tapi juga rakyat, tentu akan berpikir berulang kali untuk melakukan korupsi.
Lantas bagaimana agar kesadaran itu terus tumbuh dan berkembang dalam diri kita? Cobalah kita berempati terhadap sesama. Anda mungkin sering melihat pengemis di jalan. Atau mendengar berita Ortu yang tak dapat menyekolah anaknya hanya karena tak mampu membayar uang sekolah. Cobalah bayangkan kita diposisi mereka.
Sementara itu mereka melihat orang-orang disekeliling mereka yang menikmati harta bendanya dari hasil korupsi. Bagaimana perasaan mereka? Inilah pentingnya melakukan empati. Melakukan empati, pada dasarnya kita mencoba ‘mendengarkan’ seseorang hingga ke dasar terdalam cara berpikirnya.
Kita pun mencoba mendalaminya, dan mencoba melihat dari sudut pandang pemahamannya. Seandainya kita bisa memahami apa yang ia lihat, mengerti paradigma yang mendasarinya, maka kemungkinan besar kita pun dapat memahami apa yang dirasakannya.
Jika para koruptor dapat berempati dengan baik, tentu mereka akan berpikir berulang kali jika ingin melakukan korupsi. Dan tentu saja, yang tak kalah penting, pemimpin harus memberi teladan yang baik bagi rakyatnya.
Panutan harus dimulai dari atas. Siapapun diri kita sebenarnya merupakan pemimpin. Dalam lingkungan keluarga, orangtua tentunya juga seorang pemimpin. Ia menjadi panutan bagi anak-anaknya. Dan Anda bisa melakukan hal itu tanpa harus melihat orang lain. (Andre Wahjudibroto)



Jl. kedungsari 117-119 Surabaya
Telp. (62-31) 5312215-5353183-4
Fax. (62-31) 5312636
Buletin Media Alumni bag. 1, 


Leave a Reply