Pendidikan toleransi
Jakarta – Aktivis Indonesian Conference on Religion for Peace Musdah Mulya mengatakan, pendidikan di Indonesia belum menciptakan pentingnya respect kepada orang lain yang berbeda. Menurutnya, pendidikan di Indonesia masih bersifat eksklusif.
Musdah menyampaikan, dengan dasar pendidikan ekslusif inilah yang menjadi bibit sikap intoleransi antar umat. Menurutnya, pengkotak-kotakan pendidikan agama yang menjadikan anak-anak menjadi menjarak dengan anak-anak lain yang tidak seiman menimbulkan sikap curiga satu sama lain.
“Karena kita punya akidah (keyakinan) yang berbeda menjadi takut. Misalkan untuk sekadar masuk ke rumah ibadah agama lain. Sedari kecil kita sudah ditakuti-takuti. Orang tua takut kalau anaknya nanti bakal pindah agama,” katanya di Gedung Parlemen di Senayan, Jakarta Selatan (2/9).
Padahal, pendidikan harus mengajarkan setiap agama itu baik. Musdah menilai, saling curiga ini karena dua hal penting yang belum jadi perhatian. Pertama, pendidikan dalam arti luas, di rumah dan di sekolah. Kedua, regulasi per-UU terkait kerukunan beragama masih diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas.
Musdah mencontohkan, UU terkait pembangunan umat beragama. Menurutnya, UU ini diskriminatif karena sedikit memberi ruang bagi penganut agama minoritas untuk mendirikan rumah ibadah. Di UU itu, dibutuhkan persetujuan oleh 60 kepala keluarga tempat didirikannya bangunan.
“Pertanyaannya kalau di tempat itu tidak banyak (kepala keluarga) apalagi kalau berada di tempat mayoritas,” katanya. Musdah menyebutkan UU lain dinilainya diskriminatif. (Penulis: HIZ/FER
http://www.beritasatu.com/kesra/206982-pendidikan-di-indonesia-belum-menciptakan-pentingnya-toleransi-beragama.html)-Aguk



Jl. kedungsari 117-119 Surabaya
Telp. (62-31) 5312215-5353183-4
Fax. (62-31) 5312636
Buletin Media Alumni bag. 1, 


Leave a Reply