Sarkasme Elie Wiesel
“Lawan dari kasih bukan kebencian, melainkan ketidakpedulian; lawan dari seni bukan keburukan, melainkan ketidakpedulian; lawan dari iman bukan ajaran sesat, melainkan ketidakpedulian; lawan dari
kehidupan bukan kematian, melainkan ketidakpedulian“
Demikian ungkapan Elie Wiesel, sastrawan peraih Nobel Perdamaian 1986, saksi hidup kekejaman rezim Hitler. Sarkastik dan telak.
Dalam perumpamaan Tuhan, apa yang membedakan antara orang Samaria dan kedua tokoh lainnya? Ya, sebentuk kepedulian. Dan, apakah yang membedakan akibatnya? Sebuah kehidupan. Orang yang dirampok itu sudah nyaris mati (ay. 30).
Jika semua orang yang lewat seperti kedua tokoh sebelumnya, nyawanya pasti melayang. Namun, karena ada orang yang peduli-jiwanya tertolong, ia tetap hidup. Lihatlah, betapa batas antara hidup dan mati ditentukan oleh sebuah kepedulian!
Sarkasme Elie Wiesel lahir dari kegetiran yang dialaminya. Ketika jutaan manusia dibantai, masyarakat internasional kala itu cenderung membisu. Bahkan gereja resmi di Jerman bersikap apatis. Tragedi terjadi selain akibat kekejaman, juga akibat ketidakpedulian.
Jika ketidakpedulian ikut melahirkan kematian, sebaliknyalah kepedulian. Mungkin yang Anda lakukan hanya sebentuk kepedulian sederhana: mendoakan si sakit, menepuk pundak si gagal, mengantar si oma ke gereja, memberi beasiswa si anak desa, dan sebagainya. Ingat, semua itu berpihak pada kehidupan.
Setiap kepedulian berpotensi untuk menghadirkan kehidupan, atau setidaknya membikin hidup lebih hidup. (Andre Wajudibroto)
Leave a Reply