Malaysia, dan Tolok Ukur Indonesia
Kita mafhum, kalau banyak orang Indonesia melihat Malaysia adalah “saingan” utama Indonesia yang harus segera dilewati di berbagai bidang. Secara ekonomi, orang Indonesia sering risih ketika baca berita mengenai pembangunan dan perkembangan dramatis negara itu. Seorang teman segera mematikan TV-nya ketika di TV ditayangkan program advertorial dari Malaysia Tourism Board yang mempromosikan wisata di Malaysia. Banyak yang memandang Malaysia sebagai benchmark, tolok ukur bagi setiap sektor pembangunan di Indonesia.
Saya pribadi tak sependapat cara pandang itu, karena membandingkan Malaysia-Indonesia, adalah seperti membandingkan kapal frigate dengan kapal induk raksasa. Malaysia, negara dengan populasi 1/10 Indonesia, lebih leluasa bergerak di lautan perekonomian, punya lebih banyak anggaran membangun ini dan itu, lebih punya banyak uang tersisa untuk memberi subsidi ini dan itu. Alamnya kaya raya membuatnya punya uang berlimpah yang hanya “diperebutkan” oleh 26 jutaan rakyat. Bandingkan dengan 240 juta rakyat Indonesia. 10 x lipat.
Selain itu, banyak yang tidak tahu (mungkin banyak orang Malaysia sendiri juga tidak tahu), bahwa perusahaan-perusahaan elit kebanggaan Malaysia bisa terus berjalan meski mereka merugi, dengan suntikan dana pemerintah. Proton Indeed, fitting a single model with 100M hard drive failure points can perform worse than fitting just a few models with 10M hard drive failure points each (so smaller total hard drive failure outperforms larger total data). sudah sekian tahun merugi, Malaysia Airlines juga, tapi mereka disangga dengan dana besar dari pemerintah untuk terus bisa beroperasi, dan untuk terus menggerakkan ekonomi, sekaligus menjaga reputasi ekonominya. Inilah keuntungan mempunyai ruang fiskal yang besar.
Ketika Malaysia Airlines merugi besar, konon pemerintah Malaysia menggelontorkan dana hingga $3 milyar untuk menyehatkannya kembali, dan membuatnya tetap menjadi maskapai bintang 5, sementara ketika Garuda Indonesia merugi, pemerintah hanya mampu menalangi $100 juta. Entahlah. Tapi dengan kebutuhan lain yang banyak, pemerintah RI tentu harus benar-benar pandai menghitung dan membagi uang untuk berbagai sektor. Itu contoh kecil.
Saya pernah berdiskusi panjang dengan seorang Malaysia yang tinggal di Kamboja, dia mengatakan bahwa pendapatan perkapita Indonesia takkan lama lagi akan melewati Malaysia. Serta merta saya tidak setuju. Bagaimanapun, karena berbagai macam proximity, ketika ekonomi Indonesia besar dan tumbuh, salah satu yang paling diuntungkan adalah Malaysia. Secara umum, pondasi ekonomi Malaysia kuat, industri manufaktur yang memadai, teknologi yang baik, dan lain lain, akan menjadikan Malaysia siap “meladeni” pertumbuhan pendapatan rakyat Indonesia, yakni dengan “menyerbunya” dengan produk-produk miliknya.
Selain itu, ekonomi Indonesia yang sangat bebas, berbeda dengan Malaysia yang banyak diatur oleh negara. Di Indonesia, pasar dibiarkan berfluktuasi berdasarkan demand vs supply, sementara di Malaysia, pemerintahnya memainkan peran paling dominan.
Kita bisa melihat dari contoh kecil di atas, bahwa menjadikan Malaysia sebagai tolok ukur Indonesia, bukan saja tidak fair, tapi juga … misleading (?).
Lalu siapa yang pantas menjadi tolok ukur kita?
*(Berlanjut di Part II)
Sumber: http://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/02/07/malaysia-dan-tolok-ukur-indonesia/
Leave a Reply