Gak bisa berenang?
Kalau nggak bisa kenapa? Saya juga nggak bisa berenang. Tapi bagi saya ini jadi penyesalan seumur hidup dan mungkin dibawa mati. Mau belajar, saya terlalu tua dan malu kecipak-kecipung nggak karu2an di kolam. Takut diledekin anak-anak atau orang dewasa lainnya.
Pernah saya menemani anak ke kolam. Karena kecil maka mereka berenang di kolam dangkal. Dan saya berani terjun karena dalamnya sedengkul. Kalau kolam dalam, jelas nggak berani. Rasa khawatir kalau kelelep? Kalau masuk air ke telinga? Kalau tak ada yang ngeliat dan menolong kalau ada apa-apa, bagaimana kalau ada makhluk halus penjaga kolam yang menarik ke dasar kolam?
Saya ketar-ketir. Makanya kalau berada di kolam renang atau sungai agak dalam atau memandang ke tengah laut, seperti ciut di perut. Ngeri. Entahlah apa ini termasuk phobia. Saya nggak tahu. Tapi masalah ini bukan tanpa sebab. Saya punya pengalaman tidak menyenangkan waktu kecil terkait berenang. Dulu saya tinggal di suatu kampung dekat sungai.
Semua teman sebaya jago berenang. Sungai cukup lebar itu mudah mereka arungi dari pinggir ke pinggir. Bagi anak2 kampung mandi di sungai adalah keriaan. Tapi bagi saya dan saudara saya yang lain hanya bisa menonton mereka dari pinggir. Kalau saya nekat ikut-ikutan, dipastikan ada saja dari mereka yang mengadu pada bapak saya. “Pak Udin, tadi si Boy mandi di sungai!”
Kalau dapat laporan begitu, saya atau saudara saya yang melakukan aksi nekad akan diinterogasi. Dan hukumannya, ikat pinggang bapak yang terbuat dari kulit berubah jadi cemeti. Waktu kami kecil, bapak saya galak. Jangankan disabet ikat pinggang, dibentak saja bisa urinasi dan bikin celana basah. Bagi bapak atau emak, tak ada kompromi bila melanggar aturan.
Mandi di sungai pantangan yang tidak boleh dilanggar. Ortu saya takut terjadi apa2 pada anaknya, dan kami tak berani melanggar karena terbukti hukumannya tak main2. Bukan itu yang membuat nyali saya ciut kalau lihat kolam renang, sungai atau memandang ke tengah laut lepas. Dua orang teman masa kecil saya tewas karena berenang.
Yang satu tenggelam di sungai ketika ada acara pacu sampan di kampung. Yang pertama Firdaus, teman satu sekolah. Saya ada di sana menyaksikan pacu sampan dan anak2 berenang. Kehebohan terjadi dan lomba dihentikan ketika ada teriakan anak2 di luar lintasan memberitahu ada anak hilang. Sontak banyak yang nyebur langsung mencari.
Rupanya teman saya itu nyangkut di dasar sungai dan lama baru disadari. Teman saya yang satu lagi namanya Eki, teman ngaji di TPA (Taman Pendidikan AlQuran). Ia tenggelam di kolam renang publik bernama Teratai. Satu kampung heboh. Rupanya ia terpeleset dan terseret ke dasar kolam padahal ia bisa berenang.
Ketika mobil ambulans meraung-raung membawa mayatnya ke rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah saya, perasaan ngeri itu datang lagi. Apalagi ketika melihat mayatnya yang terbujur kaku di pembaringan. Yang paling bikin terenyuh adalah ratapan sang ibu menyesali karena pagi hari sebelum peristiwa itu, teman saya itu baru saja dimarahi.
Bekas cubitan sang ibu masih membekas saat ia sudah tiada. Dengan dua peristiwa di atas semakin kuat alasan ortu saya melarang kami berenang. Dulu ketika di SMP dan SMA ada pelajaran OR renang, sayanya selalu berdiri di barisan belakang dan saat di suruh nyebur ke kolam, asli, jantung saya empot-empotan dan memegang pinggiran kolam erat-erat.
Mana berani agak ke tengah. Langsung teringat kejadian yang menimpa teman saya dan pesan orangtua. Itulah sebabnya saya nggak bisa berenang. Tapi semakin saya dewasa dan menemukan suatu hal yang menarik, yakni ucapan sang idola saya, Kalifah Umar Bin Khattab RA. Beliau pernah mengatakan “Didiklah anak-anakmu keterampilan berkuda, memanah, dan BERENANG.
Satu lagi ucapan beliau yang terkenal “Didiklah anak2mu sesuai zamannya.” Menurut saya ini menarik, mengapa berenang termasuk penting padahal kalau dilihat dari kondisi Arab pada waktu itu tidak ada sungai atau kolam renang? Laut juga jauh dari kota Madinah. Yang ada oase untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup. Pastinya Umar tahu kalau berenang adalah salah satu life skill yang harus di ajarkan.
Selain menyehatkan badan juga bisa jadi untuk jaga diri kalau ada apa-apa. Sesuai zamannya, mungkin berkuda dan memanah bisa diinterpretasikan sebagai keterampilan mengendarai kendaraan dan keterampilan beladiri. Tapi Berenang tetap aktual untuk zaman sekarang. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita.
Kalau kita menguasai keterampilan ini se-tidak2nya kita bisa menjaga diri dan membantu menjadikan hidup atau pekerjaan nantinya. Ada profesi2 tertentu yang butuh keterampilan berenang misalnya saja, untuk peneliti kelautan, masuk angkatan bersenjata, dan lain sebagainya. Atau bila kita mengalami kondisi darurat di perairan.
Tentu kepanikan yang dialami berbeda bagi yang bisa berenang dengan orang yang tidak bisa berenang. Orang yang tidak bisa berenang pastinya jauh lebih panik ketika berada dalam kondisi tersebut. Maka dari itu, supaya anak-anak saya tidak menyesal seperti saya nantinya, saya tidak akan melarang mereka untuk berenang.
Yang penting diarahkan kalau perlu di bawah bimbingan instruktur. Apalagi kalau melihat kondisi geografis Indonesia yang lebih banyak perairan daripada daratan. Masa sebagai negara bahari, banyak rakyatnya tak bisa berenang? Apa kata dunia? (Boyke Abdilla; http://www.kompasiana.com/boyke/hari-gini-nggak-bisa-berenang_564473d863afbd4b099f6b45)-FatchurR
Membaca artikel ini saya merasa beruntung, karena sebaliknya dari kisah kawan ini, sejak kecil kami bersaudara selalu dibawa kekolam renang untuk diajari berenang, oleh Orang Tua kami. Kota Probolinggo tahun 1950 an tidak punya kolam renang. Jadi kalau mau ” diperkenalkan soal berenang ” kami dibawa naik mobil kepemandian Jabung jurusan Kraksaan dekat candi Jabung. Atau ke Banyubiru yang kolamnya agak alami ada ikan emas besar yang juga berenang dikolam renang. DiBanyubiru selalu ada yang jual jagung rebus atau jagung bakar. Ini semua membuat kami senang dan menunggu acara berenang ini.
Tanpa terasa kami ikutan nyemplung dikolam dangkal bersama Orang tua kami atau dengan para dewasa yang mengantar.
Tentu saya tidak tau apa ini sudah deprogram agar kami ” berani air “atau kebetulan saja. Tau tau kami bersaudara dan sekawanan bisa berenang, meski bukan kwalitas untuk lomba. Jadi alami bondo nekad saja asal ” tidak minum sambil nyelam ” dan tidak tenggelam.
Acara lain adalah dikala perayaan Peh Cun sekeluarga selalu main dilaut, kalau lelah menepi, duduk dipasir menikmati bekal Bakcang yang sampai sekarang jadi penganan favorit saya. Di Probolinggo ada tiga keluarga yang jadi favorit kami untuk kami target Bakcangnya kalau perayaan Peh Cun. Rumah kami, Encim SIE THJOEN KHING Orang tuanya SIE LIE KIAT dan lain lain, dan Encim YOE TJIAUW rumah SHIA KONG TIK. Bakcangnya terkenal enak, gede banyak isinya serta murah hati, kami dating tentu boleh ambil semau udel apa yang sudah disuguhkan. Lalu kami jadikan bekal kepelabuhan. Ya main laut dipelabuhan Tanjung Tembaga, yang dulu bersih banyak perahu nelayan dan orang mincing atau menjala. Sekarang sayang sekali kumuh, tua tidak terawat.
Kadang kami berlomba karepe dewe dengan sesama teman.Pernah kejadian, SWIE HOO TJIEN kepleset diujung boom pelabuhan. Dinding boom memang licin bagi kami, tapi banyak sarang siput nempel didinding ini. Ini menimbulkan kesulitan bagi kami menolong HOO TJIEN. Caranya saling berpegangan tangan dan diujung ulurkan sabuk untuk dipegang HOO TJIEN. Maksudnya peganglah, kami tarik kamu. HOO TJIEN nya tidak tenggelam karena bisa water trappen, tapi meraih sabuk sambih menaduh aduh telapak dan bagian kaki perih karena teriris sarang siput dalam air bergaram, bagi anak seusia kelas 4 Sekolah Rakyat sengsaranya bukan main.
YOYOK SANATIO yang putera Dokter SANTOSO ternyata sudah lari kekantor pelabuhan minta ” obat merah “yang mengandung mercury yang sekarang dilarang itu. Luka dibuhi obat, HOO TJIEN meringis merasakan perih. Kami masih bisa menegur syukur, untung kamu tidak dibubuhi jodium tincture!
Toh yang dipikir HOO TJIEN lain lagi. Bagaimana kalau sampai dirumah nanti, pasti dimarahi. Hangsop ginggang atau biasa dinamakan celana kodoknya dedel doel robek sedidik sedikit. Ga mikiri luka luka kecil yang menyayat sekujur badan depan, dari telapak tangan sampai telapak kaki, akibat berusaha nempel didinding boom yang banyak sarang siputnya.
Setelah kami bisa keluyuran naik sepeda bersama teman teman, kamipun bersepeda sampai ke Banyubiru, Jabung. Beberapa kali dipandu Pak SANTOSO dan Ibu Guru juga. Anak asrama Putera Puteri selalu diajak. Ini daya tariknya. Kami berebuk memboncengkan nonik2 asrama. Bayangkan 36 kilometer perginya 36 lagi pulangnya, ga sambat.
Di komunitas WA IAMDP, CHRISTINE LIEM punya cerita bagaimana saya menggoncengnya disetang depan, sambil saya beri langsep yang sudah saya kupas. Demi pelayanan terbaik, saya berikan hanya yang manis. Caranya? Saya gigit dulu kalau manis saya dulang kemulutnya, ha…x9. Sampai setua ini kami berdua sering membicarakan keakraban ini.
Pertama kali nyaris tenggelam saya alami saat berenang dikolam Umbulan, yang sekarang masuk lahan Pabrik Tekstil Eratext diProbolinggo. POERNOMO menganjuri SONNY TJIA terjun keair, lihat tuh Khing tidak tenggelam, dangkal. Nekad, SONNY yang belum bisa berenang loncat, langsung help help mau tenggelam. Saya yang didekatnya dirangkul, tenggelamlah kami berdua. Saya tidak tau bagaimana menolong maupun melepaskan diri. TJAHYONO yang sekarang pensiunan Majen Marinir/KKo rupaya lebih mahir soal air, menyelamatkan kami. POERNOMO dimarahi kami sekawanan.
Kedua kalinya hampir tenggelam, di Banyubiru. Disana baru dipasang papan loncat. Tentu saja bagi kami nampang lebih gagah kalau berani loncat. KOO TIK KIONG tidak ketinggalan. Begitu saya loncat dan show off water trappen tolah toleh siapa saja yang melihat dan mengagumi, tau tau jeguuuur air muncrat!
Saya merasakan ada yang menyedot kedalam air, tenggelam karena TIK KIONG panic saat mencebur dalam, ketakutan, lupa kemempuan mengambang dan berenangnya. Safety first seadanya yang terjangkau dipegang untuk dirangkul
Sekian detik kami minum air kolam renang. Tertolong oleh PHOA HAN LIEM yang menyogokkan bamboo rampal tiang bendera pada kami yang berangkulan panik menuju dasar kolam.
Nyaris tenggelam yang ketiga kalinya adalah 29 Desember 1969 di Pulau Merah Laut Kidul Banyuwangi Selatan yang sudah pernah saya ceritakan diweb ini.
Singkatnya meski dikatakan di Al Kitab, kiamat yang akan dating tidaklah oleh banjir. Ada baiknya kita semua bias berenang. Satu dua menit bisa berenang mengambang diair akan menyelamatkan diri kita dan orang lain. Juga melatih diri untuk percaya diri menghadapi situasi nyaris celaka.