- Alumni-Buletin-Ide (55)
- Berita Duka (158)
- Bisnis-ketrampilan-Hobi (439)
- Budaya-Wisata-Kuliner (1,750)
- Ebook Gratis (2)
- IPTEK/HOAX/Aku cinta RI (3,212)
- Kesehatan n OR (1,638)
- Lingkungan hidup (281)
- Maju bersama IAMDP n Materdei (326)
- Muda-di Rona n Prest (1,100)
- Pay Per Click (1)
- Photography (5)
- Psychological (1,488)
- Reliji Kristiani (244)
- Rohani Islam (117)
- Selingan (2,430)
- Sidebar Photoblog (7)
- Uncategorized (1,027)
- Dinny Anggarda on Pulau Kotok Surga Kecil Elang Bondol Di Kepulauan Seribu
- karimunjawa on Makanan Tradisional Mulai Punah Dan Membuat Anda Muda Kembali(2/4)
- Ernie Hariati on Banyu Mili Di Wonosalam Wisata Yang Menawan
- Sidarta Krisnamurti on Kandang Sumo Diserang Covid-19
- Karimun Jawa on Momen #DirumahAja Untuk Menjalin Komunikasi Terbuka
- Cicilia Bangun on Mengajar Dari Rumah Nadiem Ajak Guru Keluar Dari Zona Nyaman
- karimunjawa on Mengajar Dari Rumah Nadiem Ajak Guru Keluar Dari Zona Nyaman
- Sidarta Krisnamurti on Berita Duka Cita Sumitro Bin Astrowidjojo 05-03-20
- Karimunjawa on Paviliun Indonesia jadi Terbaik di Berlin
- Seller denature on Mengenal Susu Kedelai-manfaat dan risikonya(4/5)
- FatchurR on Perayaan Malam Tahun Baru Di Berbagai Belahan Dunia(1/3)
- FatchurR on Desa Glintung Go Green Berprestasi Karena Gerakan Menabung Air
- Harry Reksosamudrasam7 on Desa Glintung Go Green Berprestasi Karena Gerakan Menabung Air
- Paket wisata karimunjawa on Pantai terindah di Bali(1/5)
- Harry Reksosamudrasam7 on Perayaan Malam Tahun Baru Di Berbagai Belahan Dunia(1/3)
Meriam dan nasi Jaha Lebaran
KOMPAS.com – Apapun agamanya, Lebaran telah jadi tradisi perayaan seluruh masyarakat Indonesia. Tiap daerah merayakan hari raya itu dengan khas. Beberapa daerah merayakan dengan festival unik. Sebagian besar merupakan ritual yang berusia tua. Sayang, beberapa tradisi mulai ditinggalkan. Karena itu, sangat layak jika festival itu menjadi agenda wisata Indonesia agar terus lestari.
Seperti di Bengkulu bertradisi “Bakar Gunung Api”. Suku Serawai melakukan tradisi ini turun temurun beratus tahun. Ritual “Bakar Gunung Api” dilaksanakan dalam rangka menyambut Idul Fitri. Oleh karena itu, ritual dilakukan di halaman rumah saat malam takbiran atau setelah shalat Isya.
Dalam ritual, batok kelapa disusun seperti tusuk sate sehingga bentuknya menjadi tinggi menjulang, lalu batok kelapa dibakar. Ada nuansa magis saat melihat api yang membumbung. Batok kelapa ini menjadi simbol ucapan syukur kepada Tuhan dan doa bagi arwah keluarga agar tentram di dunia akhirat.
Di Dompu, NTB, dikenal tradisi membakar ilo sanggari atau lentera. Lentera dipasang di sekeliling rumah. Tradisi ini jarang dilakukan karena perkembangan lampu penerangan modern. Lentera itu dari bambu dan dililit minyak biji jarak. Masyarakat memasangnya di sekeliling rumah lalu dibakar.
Ilo sanggari untuk menyambut Idul Fitri. Penduduk percaya dengan menyalakan lentera, malaikat dan roh leluhur datang dan memberi berkah di hari Idul Fitri. Serupa dengan tradisi di Dompu, di Gorontalo terdapat festival Tumbilotohe. Masyarakat memasang lampu sejak 3 malam menjelang Idul Fitri.
Tradisi memasang lampu tersebut awalnya untuk memudahkan warga memberikat zakat fitrah di malam hari. Kala itu, lampu terbuat dari damar dan getah pohon. Seiring waktu, lampu diganti dengan minyak kelapa dan kemudian beralih menggunakan minyak tanah.
Tradisi ini sejak abad ke-15 M. Kini, lampu yang dipasang berbagai bentuk dan warna. Lampu dipasang tak hanya di rumah, melainkan di kantor-masjid-sawah. Beralih ke Lombok, NTB, suku Sasak memiliki tradisi Lebaran Topat. Tradisi ini dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Saat itu, masyarakat suku Sasak akan saling bersilahturahmi dan berziarah.
Hanya saja di Pura Lingsar yang berlokasi di Lombok Barat terdapat tradisi unik yaitu Perang Topat. Masyarakat Pura saling melempar ketupat. Mereka percaya dengan melakukan ritual itu, Tuhan akan mengabulkan doanya.
Di Pontianak, Kalbar, terdapat tradisi yang dilakukan sejak lebih 200 tahun lalu. Festival ini disebut Festival Meriam Karbit. Meriam karbit merupakan meriam besar berdiameter lebih dari 30 Cm dan terbuat dari kayu. Meriam itu dipasang di tepian Sungai Kapuas. Saat meriam dinyalakan, suara dentuman keras membahana. Awalnya, meriam dibunyikan untuk mengusir kuntilanak. Kini, meriam itu dibunyikan untuk menyambut Idul Fitri.
Di Yogyakarta, tradisi Grebeg Syawal sangat terkenal yang merupakan ritual Keraton Yogyakarta dalam memperingati Idul Fitri yang dilangsungkan tepat 1 Syawal. Masyarakat percaya, Gunungan Grebeg membawa berkah dan ketenteraman. Upacara ini diawali keluarnya Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan.
Gunung Lanang terbuat dari sayuran dan hasil bumi. Gunungan ini dikawal prajurit keraton. Masyarakat berebutan mengambil hasil bumi yang terdapat di gunungan. Tradisi ini berlangsung turun temurun. Lebaran tak bisa lepas dari acara makan. Di Sulawei Utara, masyarakat Motoboi Besar melakukan tradisi Binarundak atau memasak bersama nasi jaha. Tradisi ini dilakukan tiga hari setelah Idul Fitri.
Tradisi Binarundak tergolong baru dan terinspirasi tradisi Lebaran Ketupat di Minahasa dan Gorontalo. Hanya dalam Binarundak, bukan ketupat yang dimakan, melainkan nasi jaha. Nasi jaha merupakan makanan khas Sulawesi Utara terbuat dari beras ketan-santan-jahe. Campuran ini dimasukan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang. Bambu lalu dibakar dengan serabut kelapa.
Dalam perayaan itu, bambu dibakar di jalanan atau lapangan. Saat matang, nasi jaha dinikmati beramai-ramai oleh perantau yang pulang bersama masyarakat setempat. Acara makan bersama jadi ajang silahturahmi sekaligus sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.
Tradisi makan-makan pun dikenal di kalangan “nyama Selam” di Bali. Nyama selam yang artinya saudara dari kalangan Muslim, sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas Hindu kepada kerabat sekampung yang muslim. Salah satu tradisi yang kental dilakukan nyama Selam adalah “ngejot” yang berlangsung turun temurun. Tradisi ini juga menyiratkan keindahan toleransi beragama.
Jelang Idul Fitri, warga Muslim “ngejot” atau memberi hidangan pada masyarakat sekitar, tidak peduli agamanya. Tradisi ini sejak masa kerajaan dan ditemukan di sebagian besar daerah di Bali. Biasanya, umat Hindu memberi balasan dengan “ngejot” kepada warga Muslim di hari Nyepi atau Galungan. (http://travel.kompas.com/read/2011/09/02/22074661/Dari.Meriam.Sampai.Nasi.Jaha..Lebaran.Unik.di.Indonesia)-FatchurR
Pengurus Pusat IAMDP mengucapkan selamat Hari Idul Fitri, “Taqabbalallahu minna waminkum. Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin”

UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447



Leave a Reply