Berpuasa jauh dari rumah
Ramadhan adalah bulan saat mengevaluasi diri, berbagi sesama, dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Banyak orang berpengalaman dan kesan terpatri di hati ketika menjalani bulan suci ini. Salah satunya adalah tatkala kita berpuasa di tempat yang jauh dari rumah. Itulah kesan yang dialami Enggar Paramita (28 tahun), Communication Officer di sebuah LSM Internasional seperti yang diceritakan di halaman iklan harian Kompas, 29 Juli 2012. Tahun lalu pertama kali Enggar berpuasa jauh dari rumahnya di Jatibening Bekasi. Kala itu, karena urusan penugasan dari kantor, dia berpuasa penuh di pulau paling timur Indonesia, Papua. Enggar bercerita 3 minggu puasa dia menjalaninya di Jayapura dan seminggu di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya berkaitan dengan tugas mengunjungi situs proyek. “Saat itu saya rindu suasana rumah. Rindu sahur-berbuka dengan keluarga, rindu masakan ibu, dan rindu buka bersama sahabat,” katanya. Untunglah rasa rindu terobati karena dia merasakan tingkat toleransi beragama sangat tinggi dari para koleganya yang rata-rata Nasrani di Papua. Enggar bilang “Teman kantor menghormati orang yang berpuasa. Kadang yang non-Muslim memberikan makanan kecil untuk berbuka puasa. Rasa kebersamaan tulus dan hangat terbangun dari hubungan saya dengan teman kosan. Sering kami berbuka bersama dan patungan beli cemilan,” katanya. Urusan menu sahur dan berbuka puasa juga tak ada kendala. Bagi gadis penyuka fotografi ini mayoritas hidangan di Papua serupa dengan apa yang ditemui di Jakarta. Maklum Jayapura penjual makanan rata-rata adalah penduduk migran dari Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Namun berpuasa di Papua Enggar tak bebas dari cobaan. Dia merasa tantangan dalam beradaptasi dengan cuaca ekstrim. Terutama ketika di Mulia. Udara rata-rata 16°C terlebih di pagi dapat mencapai 10-12°C. “Di sana cepat lemas, akibat dehidrasi habis habisan walau ketika sahur-berbuka sudah minum banyak air dan saya tetap dehidrasi. Meski kini sudah kembali ke Jakarta, Enggar puas pernah berpuasa langka, baru dan jauh dari rumah. Dia memaknai Ramadhan sebagai bulan ‘eling’ dan bersilaturahim. Meluangkan waktu menjalin hubungan yang sempat vakum. “Menurut saya di sana orang-orang lebih punya perasaan hati nurani dan lebih manusiawi, katanya. (Kom/BONO; http://theindonesiahealthy.wordpress.com/2012/07/30/kian-bermakna-saat-jauh-puasa-di-papua-inspirasi/)-FatchurR
Leave a Reply