Arti Ulang tahun
Ulang tahun biasanya membawa arti tersendiri bagi setiap orang yang sedang memeringatinya. Bagi yang beranjak remaja lebih berarti kebahagiaan, menandai bertambahnya usia untuk menjadi lebih dewasa. Sementara yang sudah lanjut, merupakan kelanjutan dari sikap bijaknya selama ini.
HUT sering disertai pesta dan kemeriahan, peluk cium dan hadiah dari keluarga dan sobatnya. Momen yang menggembirakan dan tak terlupakan. Kata anak saya sewaktu kecil saat ulang tahunnya dirayakan, “Enak ya Bu ulang tahun. Kalau bisa tiap bulan, biar dapat banyak kado ”
Ulang tahun sejatinya memeringati sebuah perjuangan seorang perempuan, ketika bertaruh nyawa mewujudkan keberadaan setiap kita di bumi ini, yang dijuluk penuh cinta sebagai Ibu, Ibunda, atau Mama.
Sedang ulang tahun bagi para ibu, bukan sekadar mengingatkan perjuangan dan cinta ibu (ortu) saja, tetapi sejak HUT itu, sekaligus memeringati pula hari wafatnya ibu tercinta (ibu wafat saat melahirkan saya). Beberapa hari setelah meninggalnya ibu (dan ulang tahun saya), seorang keponakan yang punya kemampuan sixth sense khusus menyampaikan ke saya,
“Ik, yang kuat ya. Emak pergi di tanggal HUTmu artinya Emak ingin saat kamu mengingat Emak sekaligus juga ingat keluarga semua dan menitipkan keluarga besar ini ke kamu.” Maka, setelah itu, tiap HUT saya memilih pulang ke kampung halaman, mendoakan ortu, daripada merayakan bersama keluarga di Jabar.
Ibu adalah sosok penuh kharisma, pejuang kehidupan yang luar biasa, figur ayah sekaligus ibu (karena ayah meninggal saat saya berusia 19 bulan, sehingga ibulah yang berperan di kehidupan saya), dan banyak lagi predikat yang membanggakan di seputar sebutan ibu. Tetapi, predikat selamanya tidak akan melebihi kebesaran subjeknya.
Saya bersyukur pernah memiliki seorang ibu seperti ibu saya. Dengan kelebihan dan kekurangan beliau, kami anak-anaknya mencintai dan menghargai beliau dengan cara kami masing-masing. Tanpa ibu yang hebat, mungkin tidak akan ada anak-anak yang hebat pula.
Dan pesan ibu yang tersirat saat beliau pergi, seakan mampu membuat saya tak kuasa berpaling setiap ada masalah di keluarga besar kami, untuk sekadar bersimpati dan mengulurkan bantuan berupa apa pun yang dibutuhkan dan mampu saya lakukan.
Seperti kita ketahui, tidak ada sekolah yang mengajari bagaimana menjadi orangtua. Yang ada, setelah menikah dan kemudian punya anak, tiba-tiba status kita berubah menjadi seorang ayah atau ibu. Dan sejak saat itu, proses belajar sebagai orangtua pun terjadi secara alami.
Ketika dulu kita sebagai anak, ada hal-hal yang kita pelajari dari cara orangtua kita dalam memelihara dan mendidik anak. Setelah kita menjadi orangtua, sebagian pelajaran itu bisa kita adopsi, sebagian kita tinggalkan. Ketidakcocokan pola didik bukan untuk dipersalahkan atau menjadi bahan perbandingan.
Setidaknya, guru pertama dalam mendidik dan memelihara anak adalah orangtua kita sendiri. Dan jika suatu saat kita menjadi orangtua, otomatis kita pun menjadi guru bagi putra putri kita sendiri. Di keluarga kecil kami, ada sebuah tradisi yang kami ajarkan ke anak-anak.
Setidaknya dua kali dalam setiap tahun, mereka harus melakukan namaskara (semacam tradisi “penghormatan”) kepada ortunya, yakni, di hari ulang tahun ayah atau ibunya, dan di HUT mereka.
Menurut saya, sangatlah penting melakukan kegiatan semacam itu, setidaknya mengingatkan pada mereka, bahwa anak adalah bagian dari ibu dan ayahnya, begitu pun sebaliknya. Selayaknya di antara keluarga harus saling perhatian dan menyayangi.
Semoga dengan pengetahuan ini, apa pun status kita, sebagai anak atau ortu, kita mampu menjalaninya dengan sebaik-baiknya, lebih bijak dan bahagia. (Lenny Wongso; http://www.andriewongso.com/articles/details/4439/Makna-Ulang-Tahun)-FatchurR
Catatan :
Bulan bakti kepada Ortu (ayah-ibu), sebaiknya dibudayakan, apapun kondisinyaortu saat kita dilahirkan serta memelihara kita hingga dewasa. (FR)
Leave a Reply