Eka Tjipta-Jangan lihat suksesnya saja(2/4)
(disway.id/eka-tjipta)-Tamat SD Eka (ETW) tidak mau sekolah lagi. Logikanya: Sekolah agar bisa kerja. Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.
Siang hari ETW bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja. Setamat SD ETW ke grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah biskuitnya laku. Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih anak2.
ETW menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit. Dari toko yang ia ingat : Ming Heng. Habis dalam 2 hari. Uang disetor. Untuk ambil yang baru. Lama2 ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka dapat kepercayaan penuh. ETW bisa beli sepeda. Cukup mengangkut 6 kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng.
Omsetnya naik saat Eka bisa beli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa 18 kaleng. Eka bayar tukang becak. Lima gulden sebulan. Dalam 4 tahun ia bisa kumpulkan tabungan 2.500 Gulden. Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden. Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng. Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.
Sambil cari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti ETW tidak akan bisa diterima bank.Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang menang tender.
Itulah kejatuhan pertama ETW. Masih remaja merasakan ludes. Ia tidak tahu yang bisa dikerjakan. Di zaman perang itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari. Saat duduk2 di bebatuan ia kaget. Ada truk tentara buang sampah.
Di tanah tidak jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang2 dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.
Tiap hari truk itu buang rongsokan ke situ. ETW berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes. Tapi orang yang buang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka ETW mendirikan warung di dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.
Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi. Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.
Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. “Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa dapat uang,” guraunya. Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis.
Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan2 yang menggunung itu. Halaman rumahnya penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi2 diluruskan. Seng2 diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.
Semen2 yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi. Persoalannya: terigu bekas harganya murah. Maka ETW mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya baru.
Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil. Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu cukup untuk hidup. (Yong Sidharta-A61; sumber dari dahlan iskan; Bahan dari : https://www.disway.id/eka-tjipta/)-FR * Bersambung……….
Leave a Reply