Nostalgia kota kecil Tajemtra

Nostalgia kota kecil TajemtraHari itu berbeda, Bapak saya berpartisipasi di acara gerak jalan Tajemtra. Tajemtra adalah kependekan dari Tanggul – Jember Tradisional. Jarak yang ditempuh peserta (perorangan dan beregu) ± 30 Km.

Jarak yang cukup jauh bagi pejalan yang berumur seperti Bapak. Tapi sedikitpun saya tidak berusaha membujuk Bapak untuk mengurungkan niatnya. Karena saya paham alasan dibalik keikutsertaan beliau di gerak jalan Tajemtra kali ini.

Bapak sedang ingin bernostalgia..
Ketika saya kecil, kakek saya (dari pihak Bapak) senang ikut Tajemtra. Tiap tahun dan tidak pernah absen. Kecuali jika mungkin Tajemtra itu ditiadakan (Tajemtra beberapa kali urung dilaksanakan). Beliau senang memamerkan piagam peserta pada saya, sebagai tanda partisipasinya di gerak jalan tersebut.

Kakek adalah lelaki tangguh yang senang mendongeng. Tapi itu tidak gratis. Jika anda adalah cucu dari Kakek saya dan sangat ingin mendengar kisah2nya, maka anda harus bersiap mencabut ubannya, atau hanya sekedar memijati bahunya. Tapi itu sebanding dengan kisah yang Kakek tuturkan.

Dari dongeng Kakek, saya berkenalan dengan seorang mantan Bupati Jember bernama Abdul Hadi. Beliau memimpin kota kecil ini selama sebelas tahun. Sejak 1968 hingga 1979. Sebelumnya, jabatan Pak Abdul Hadi adalah Dandim 0824 Jember. Kakek tidak bercerita banyak.

 

Beliau sering meng-ulang2 sepenggal kisah, bahwa gerak jalan Tajemtra adalah acara rakyat yang digagas oleh Pak Abdul Hadi. Dan satu lagi, Pak Abdul Hadi adalah pemimpin yang pro pada wong cilik. Pantaslah jika beliau memimpin Jember selama dua periode, dan namanya tetap hidup hingga sekarang.

Kisah-kisah Kakek berhenti di tahun 1993. Saat itu pertengahan ramadhan dan Kakek sedang bertadarrus di musholla STM Negeri Jember (sekarang SMP 10). Diceritakan bahwa wudhu Kakek terputus. Karena jarak antara musholla dengan rumah Kakek sangat dekat, beliau memilih untuk menyambung wudhu di rumah.

 

Sesampainya di rumah, Nenek mengeluh jika lampu bohlam di ruang warung putus (Almarhumah Nenek saya adalah seorang penjual rujak). Karena khawatir tikus-tikus menyerang dengan membabi buta, Nenek ingin Kakek membetulkan lampu yang putus tersebut.

\

Kakek mengiyakan, tapi terlebih dahulu menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Setelah selesai, Kakek mengabulkan permintaan perempuan keriput buta huruf yang begitu dia cintai. Tuhan bermaksud lain. Tubuh kakek teraliri listrik bertegangan 110 volt. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Saat itu saya beranjak remaja dan saya menangis. Tiba-tiba saya merindukan segala hal yang menyebalkan dari Kakek. Juga tentang kisah-kisah hebatnya selama mengikuti gerak jalan Tajemtra tanpa absen.

Dulu Kakek seorang petualang..
Jalan hidup Kakek begitu sederhana sekaligus begitu menginspirasi. Dia hanyalah seorang pensiunan PJKA (sekarang PT KAI). Jabatan terhebatnya adalah sebagai masinis. Kakek lahir dan tumbuh di Sumenep, tamatan SR. Kenekatanlah yang membuatnya bertarung melawan hidup di kota kecil Jember.

Segala hal yang pernah Kakek lakukan, saya juga ingin melakukannya. Dia pernah melakukan petualangan gila Sumenep – Jember di jaman akses transportasi tidak semanja sekarang. Dulu Kakek  petualang meski garis2 petualangan yang terbatas. Saya juga ingin melakukannya karena saya cucunya.

Bapak melanjutkan cerita Kakek..
Itulah kenapa saya bisa memahami keinginan Bapak. Bapak hanya sedang ingin bernostalgia. Setua apapun laki-laki, pasti ada sedikit cita untuk ingin menjadi seperti Bapaknya. Bahkan jika memungkinkan, ingin tampil lebih keren lagi, dengan jejak-jejak yang sama.

Cerita tentang kepemimpinan Bupati Abdul Hadi masih berlanjut hingga saya besar. Setiap kali saya ada waktu menemani Bapak, setiap kali berbicara seputar kota kecil Jember, setiap kali itu juga Bapak menyisipkan nama Abdul Hadi di beberapa kisahnya. Bukan hanya tentang Tajemtra. Masih banyak lagi gebrakan Bapak Abdul Hadi untuk kemajuan kota kecil ini.

“Dulu belum ada istilah pencinta alam, yang populer adalah Pramuka. Oleh Pak Bupati, diperintahkan agar di setiap desa memiliki sebuah sanggar untuk mewadahi proses kreatif Pramuka. Lalu para pemuda desa dianjurkan untuk menjadi anggota Pramuka Saka Taruna Bumi. Pusatnya ada di Rambigundam, di gedung lembaga Cadika. Namanya Pramuka Saka Dirgantara..”

Sebelum memerintahkan adanya sanggar Pramuka, Pak Abdul Hadi juga memerintahkan agar semua desa memiliki balai desa yang bagus. Stempel dan perangkat desa lainnya tidak boleh dibawa oleh Kepala Desa, tapi harus ada di kantor balai desa. Kalau cerita yang ini tidak saya dapat dari Bapak, melainkan dari Bapaknya Mas Ananta. Namanya Pak De Bagio. Beliau adalah mantan Humas Universitas Jember.

Pasar Tanjung yang tadinya kumuh dan kurang sehat ditengah kota, dibongkar. Terminal yang mengotori kota di Jalan Samanhudi dipindah ke Gebang dan dibangunkan sebuah terminal yang lebih baik, Beberapa pasar di pojok kota dan di tiap kawedanan juga dibangun sebagai sentra ekonomi rakyat. Kepada masyarakat kecil digulirkan krtedit bernama ”Candak Kulak”.

Itu juga saya ketahui dari Pak De Bagio. Makasih De.
Yang paling sering Bapak ceritakan adalah tentang proses pembangunan Masjid Jamik Al Baitul Amin Jember. Sebelumnya memang sudah ada masjid di tengah-tengah kota. Tapi sudah terlihat tua. Jika direnovasi akan mengurangi sisi sejarahnya. Akhirnya dibangunlah masjid baru, sementara masjid lama dialih fungsikan sebagai kegiatan belajar mengajar.

Bapak Abdul Hadi mengajak warga Jember untuk mennyumbang buah kelapa (yang dikoordinir oleh tiap-tiap kepala desa), untuk kemudian di jual dan hasilnya di sumbangkan pada pembangunan masjid.

Konsepnya mirip dengan penarikan upeti di jaman kerajaan, terkesan memaksa. Ketika hal ini saya utarakan pada Bapak, beliau terkekeh lalu menjelaskan pada saya. Meskipun terkesan sangar oleh latar belakangnya yang militer, tapi Pak Hadi tidak begitu. Dia arif dan dicintai di jamannya.

Gedung Pemda Jember saat ini (di jalan Sudarman, jalan terpendek di jember karena panjangnya hanya dari ujung gedung ke ujung gedung lainnya), itu juga digagas oleh Pak Abdul Hadi. Menurut Bapak, tadinya gedung ini adalah rumah dinas untuk Bupati, mengikuti tata letak kolonial.

Ada yang menarik dari gedung Pemkab Jember. Bila dilihat dari atas, bentuknya menyerupai burung garuda yang sedang mengepakkan kedua sayapnya.

Kembali ke Gerak Jalan Tajemtra..
Saya tidak perlu khawatir. My Father is Forrest Gump. Sejak pensiun dari DPU Bina Marga, Bapak memiliki hobi baru. Jalan-jalan. Kadang Bapak memiliki rute jalan kaki yang mencengangkan. Pantaslah jika banyak orang yang mengenalnya.

Ada sebuah kisah. Ketika saya sedang menikmati kopi di sebuah warung (ini warung yang asing buat saya), di sebelah saya ada beberapa lelaki yang sedang berkumpul. Rupanya mereka adalah para penjabel sepeda.

 

Betapa terkejutnya saya, ternyata mereka sedang memperbincangkan tentang seorang lelaki beranjak tua asal desa Patrang, yang rambutnya gondrong memutih, senang berjalan kaki, dan grapyak. Hei, bukankah itu Bapak saya?

Ketika anda ada di posisi saya, mendengarkan celoteh tentang Bapak anda, lalu salah satu dari penceloteh mengatakan Bapak anda gila, apa yang akan anda lakukan? Ya benar, saya juga sama seperti anda, melakukan apa yang memang harus saya lakukan. Meluruskan kesalahpahaman dengan cara terbaik, itu yang saya lakukan.

Bapak saya baik-baik saja. Dia hanya sedang memberi teladan pada putranya untuk menjalani kemerdekaan hidup dan terbang kemana hati membawa. Dari Bapak saya memetik satu lagi bunga kehidupan. Bahwa orang yang merdeka adalah orang yang tak takut dihina, selama yang dia lakukan benar.

Sampai hari ini, setiap kali ada waktu, Bapak tidak pernah berhenti berdongeng. Mendongengkan kehidupan. Seperti di waktu yang lalu ketika saya bertanya, kenapa di spanduk Tajemtra ada tertulis Mahmudi Cup dan bukannya Tajemtra Cup?

 

Ternyata Mahmudi adalah nama salah seorang peserta tajem. Sepertinya Bapak mengenalnya. Beberapa tahun terakhir, namanya dikenang dan diabadikan sebagai nama piala / Mahmudi Cup. Itu semua karena Mahmudi meninggal dunia pada saat mengikuti gerak jalan Tajemtra.

Ketika saya berkata, Tajemtra hanya membuat macet saja (mengingat jalan yang ditutup adalah jalan propinsi), Bapak memiliki pendapat yang berbeda. “Ini hanya masalah pengaturannya saja”, begitu kata Bapak. Saya diam. Karena tidak ada alasan bagi saya untuk membantah argumentasi sederhana dari pensiunan mandor jalan yang istimewa ini.

Ah Bapak.. Bahagianya menjadi putramu. Selamat meramaikan acara gerak jalan Tajemtra ya Pak.

(RZ Hakim Hakim; http://www.kompasiana.com/acacicu/tajemtra-dan-nostalgia-kota-kecil_551245f6a333117a56ba81a8)-FatchurR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Langganan Artikel Gratis
Dengan mendaftarkan alamat email dibawah ini, berarti anda akan selalu dapat kiriman artikel terbaru dari Alumnimaterdei

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Anda pengunjung ke
UD. Setiadarma
Best PRICE, Best QUALITY & Best for YOU! Setiadarma

UD. Setiadarma-Surabaya Sidharta Krisnamurti HP. 08165419447

Percetakan Offset Sidoyoso
Jl. Kedung Cowek 205 Surabaya (0351) 3770001-3718318 Fax. 3763186
Bosch
Bosch Jl. kedungsari 117-119 Surabaya Telp. (62-31) 5312215-5353183-4 Fax. (62-31) 5312636 email: roda_mas888@yahoo.com
Download Buletin Media Alumni Edisi 2
Buletin-MA-utk.-Widget Buletin Media Alumni bag. 1, kilk disini Buletin Media Alumni bag. 2, klik disini buletin Media Alumni bag. 3, klik disini
Alamo
alamo
Download Buletin
buletin-IAMDP 8 Download Buletin klik pada Gambar
Sahabat kita