Keteladanan-kesederhanaan Natsir
JAKARTA, KOMPAS.com-Kesederhanaan menjadi kata yang sekarang sulit ditemukan pada sosok elite di pemerintahan, di parlemen, maupun kabinet. Jauh lebih gampang mencari jam bermerek dengan harga termahal atau mobil dalam gambaran kemewahan yang sama, alih-alih sebentuk kesederhanaan.
Bukan berarti tak ada sosok dari kalangan elite Indonesia yang bisa menjadi teladan kesederhanaan. Sejarah menorehkan banyak tokoh yang hidup sederhana hingga wafat, termasuk Menteri Penerangan (1946); lanjut jadi PM (1950), M-Natsir. Tokoh kelahiran Alahan Panjang, Sumbar, ini sangat sederhana gaya hidupnya.
Guru Besar University Cornell sekaligus seorang Indonesianis asal Amerika, George McTurnan Kahin, menggambarkan kesederhanaannya dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Kahin bertutur, saat pertama bertemu di Yogyakarta, dia heran dengan penampilan Natsir yang tak tampak sebagai menteri. “Ia memakai kemeja bertambalan, yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” tulis Kahin. Kemeja Natsir juga hanya ada dua, kata dia, itu pun kusam.
Selain itu, saat jadi Menpen, Natsir besama istrinya Ummi Nurnahar dan ke-5 anaknya, yaitu Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, menumpang di rumah sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakpus. Natsir tak lagi menumpang ketika pemerintah menyediakan rumah bagi keluarga ini pada 1946.
Setelah menjadi Perdana Menteri tahun 1950, negara memberikan berbagai fasilitas seperti rumah yang lebih layak dari rumah di Jalan Jawa, Jakarta, lengkap dengan penjagaan dan pengawalan, termasuk tukang cuci dan masak, serta tukang kebun.
Meski mendapat fasilitas itu, keluarga Natsir tetap tampil sederhana. Istri Natsir kerap berbelanja sendiri ke pasar. Pada tahun itu, Natsir adalah sosok yang menyodorkan Mosi Integral, yang mempertahankan bentuk negara kesatuan dan mencegah Indonesia terpecah belah, bukan pejabat biasa.
Pada tahun 1951, setelah Natsir mengundurkan diri sebagai PM, negara menyediakan dana taktis yang jumlahnya cukup besar. Meski dana itu adalah haknya, Natsir memilih tak memakainya untuk kepentingan pribadi dan malah menempatkannya di koperasi karyawan.
Kehidupan Natsir-keluarga tak berubah dan berpindah-pindah saat pemberontakan PRRI, sampai 1966. Tokoh ini wafat 1993, tetap dengan kesahajaannya, terlepas dari segala stigma politik yang ditempelkan pada salah satu tokoh Petisi 50 ini, yang membatasi banyak langkah kehidupannya. Setidaknya, tokoh besar yang tetap sederhana itu pernah ada di Indonesia. (Go Hwie Khing; http://nasional.kompas.com/read/2014/06/23/0857420/Di.Satu.Masa.Menteri.di.Indonesia.Ada.yang.Berbalut.Jas.Penuh.Tambalan.)-FR