Wisata sejarah sungai di Ngawi jaman Kolonial
Saya penasaran dengan sejarah kota ini. Maka ketika saya berkunjung kota ini tak lupa mencoba banyak bertanya mengenai masalalu kota ini. Dari banyak cerita yang saya rekam, ada satu cerita yang belum sempat di dapati di buku-buku sejarah.
Yakni asal-usul selokan besar yang berada di daerah segaran atau sidomakmur (dan juga memanjang memutari pusat kota) yang ternyata ada hubungannnya dengan sejarah Benteng van Den Bosch. Serta tata kota di Era Kolonial Belanda.
Yang sempat tercengang dari penuturan kakek, mengenai asal-usul selokan2 kumuh di derah sidomakmur/segaran (lokasi barat Pasar Besar Ngawi-era modern/daerah Pecinan Era Kolonial) dulu di Era Kolonial Belanda berfungsi sebagai tempat mengalirkan air bersih menuju permukiman meneer2 dan noni2 Belanda yang tinggal di wilayah area benteng pendem.
Maka tak heran jika daerah tempat selokan2 ini berada disebut dengan segaran. (Sumber referensi dari cerita kakek, mbah Sakimin Hendro Bawono, usia 86 tahun)
Minilik asal namanya Segaran berasal kata Segoro (lautan) mendapat akhiran -an, berubah arti jadi daerah mirip segoro kecil. Daerah ini ber topografi lebih rendah, ada di sekitar karang tengah kota. Ada kanal utama yang asalnya dari Desa Kedung Putri Paron.
Dari selokan atau kanal itu mengalir air bersih dan banyak sehingga dapat menghidupi hajat banyak masyarakat. Kalo di wilayah kota Ngawi saja kanal itu melalui belakang stadion Ketonggo, memutar ke arah karanggeneng. Lalu melalui belakang jalan Hasannudin.
Saya tahu ada selokan besar yang melintasi belakang sekolah itu. Lurus ke arah belakang PLN dan menyeberangi jalan Sultan Agung. Dan berakhir di Segaran. Daerah ini di buat mirip bendungan dan airnya dapat di gunakan untuk kehidupan sehari hari.
Kini Kanal yang ada di Segaran tak menampung air bersih lagi, karena kanal dari kedungputri Paron telah habis di pompa ke sawah sawah. Andai kanal2 utama peninggalan Belanda ini terawat hingga sekarang tentu saja menjadi indah dan segar, layaknya kita berwisata di Eropa.
Seperti kita ketahui, peninggalan bangunan Masa Kolonial ada banyak yang masih dapat kita lihat sampai kini. Mulai dari pabrik gula, benteng, sarana transportasi seperti rel KA atau jalan raya. Peninggalan2 itu selayak bangunan2 standar eropa di eranya.
Dari segi keawetan, fungsi, dan perencanaan bangunan Era Kolonial, bisa disandingkan dengan bangunan2 era sekarang. Malah bisa jadi bangunan2 Era ini dari segi komposisi bahan lebih kuat dari bangunan setelah kemerdekaan.
Apalagi alasannya kalau bukan karena zaman sekarang bangunan milik pemerintah banyak yang dimark up, tentunya berbeda dengan zaman dulu yang meski ada korupsi namun tak semarak sekarang ini. (http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2015/04/24/gambaran-kota-ngawi-zaman-kolonial-perbandingan-foto-benteng-pendem-van-den-bosch-era-sekarang-dengan-era-kolonial-740424.html)-FatchurR
Terima kasih FATCH kiriman artikel sejarah selayang pandang ini.
Catatan saya, Belanda musti dipuji telah merencanakan Hindia Belanda/ Nusantara setelitinya sesuai kaidah pelestarian lingkungan sampai 2020.
Sayang dimana mana diabaikan oleh Indonesia diera Peembangunan oleh Orde Baru. Kalah oleh kepentingan konkalikong demi keuntungan pribadi pribadi. Maka banyak yang rusak tatananya, merusak yang sudah ada, tanpa ada kejelasan hukumnya. Contoh fatal Stasiun Kereta Api Semut Surabaya. Dibongkar oleh Pengusaha bajingan yang diberi hak oleh Pemerintah. Sudah diperkarakan dengan hukuman yang sampai sekarang tidak ada kenyataan pelaksanaanya.
Di Probolinggo ada Kali Banger yang juga beriwayat. Tempat Tarungnya Damar Wulan dan Menak Jinggo, tolong diceritakan detail legendanya ya. Matur Nuwun, syukron.